Tragedi Kepsek SMAN 3 Poso: Suratan Nasib dan Harga Kopi
Oleh: Wilson Lalengke
JAKARTA, BeritaKilat.Com –
Kepala Sekolah Menengah Atas Negeri 3 (SMAN 3) Poso, Sulawesi Tengah, Drs.
Suhariono (57), saat ini tengah mendekam di dalam Rumah Tahanan (Rutan) Poso,
sejak 6 September 2021. Ia divonis bersalah oleh Mahkamah Agung dan diganjar
hukuman kurungan 4 tahun subsider 200 juta rupiah, yang jika tidak sanggup
dibayar harus diganti dengan 6 bulan penjara [1]. Walaupun majelis hakim PN
Tipikor Palu tidak menemukan bukti kuat untuk menghukum Suhariono sehingga
memutus terdakwa bebas murni, namun di tingkat kasasi, majelis hakim (tidak)
agung justru mengabulkan permohonan kasasi JPU dari Kejari Poso yang meminta
Suhariono dipenjarakan. Mirisnya lagi, hingga tulisan ini naik tayang, minuta
putusan kasasi MA belum dibuat dan diserahkan kepada Suhariono, yang oleh
karena itu belum dapat melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali [2].
Kepala SMAN 3 Poso yang malang
itu didakwa melakukan tindak pidana korupsi melakukan pungutan dan penggunaan
uang komite sekolah. Terkait dengan dakwaan ini, perlu kita ketahui unsur
tindak (delik) pidana korupsi yang tidak terlepas dari unsur-unsur yang
terdapat dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(PTPK).
Pasal 2 UU No. 31 tahun 1999
berbunyi: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun paling
lama 20 (dua puluh) tahun, dan denda paling sedikit dua ratus juta rupiah dan
paling banyak satu milyar rupiah.” [3]
Dan, Pasal 3 UU No. 31 tahun
1999 menetapkan bahwa: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit lima puluh juta
rupiah dan paling banyak satu milyar rupiah.”
Berdasarkan kedua pasal UU
PTPK tersebut, maka dapat kita urai unsur-unsur delik korupsi yang terdapat di
dalamnya, sebagai berikut:
1. Setiap orang;
2. Menggunakan kewenangan,
jabatan, kesempatan, dan sarana secara melawan hukum;
3. Menguntungkan dan
memperkaya diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi; dan
4. Merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara.
Dalam proses persidangan,
keempat unsur inilah yang harus menjadi pedoman bagi setiap pihak terkait,
yakni jaksa, pengacara, dan hakim, ketika membedah persoalan untuk kemudian
hakim mengambil keputusan. Selama persidangan keempat unsur ini harus
dibuktikan kebenaran faktualnya melalui pemeriksaan alat-alat bukti yang sah,
seperti keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan
terdakwa. Untuk mendukung kebenaran dan keabsahan alat-alat bukti itu umumnya
harus disertai barang bukti yang digunakan dalam melakukan tindak pidana [4].
Ini berarti bahwa dalam
pengambilan keputusan, hakim tidak dibenarkan membuat keputusan berdasarkan
opini, asumsi, perkiraan, prediksi, ramalan, dan/atau rekaan-rekaan. Bahkan,
hakim diberi kebebasan seluas-luasnya untuk menolak alat dan barang bukti serta
argumentasi yang meragukan bagi hakim yang menyidangkan perkara. Artinya, hakim
wajib mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang sah disertai barang
bukti pendukung yang benar dan faktual dan tidak ada keraguan sedikit pun di
dalamnya. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya” [5].
Pada kasus vonis putusan
kasasi Mahkamah Agung terhadap Kepsek Suhariono, dari keempat unsur delik
pidana korupsi yang disangkakan kepadanya, hanya poin nomor 1 yang terpenuhi.
Lainnya tidak. Unsur setiap orang terpenuhi, yakni seorang individu bernama
Suhariono.
Point kedua ‘unsur menggunakan
kewenangan, jabatan, kesempatan, dan sarana secara melawan hukum’ tidak
terpenuhi. Sebagai kepala sekolah, Suhariono melakukan pengumpulan dana komite
sekolah dan menggunakannya berdasarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Sulawesi
Tengah Nomor 10 tahun 2017 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan pada
Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, dan Sekolah Luar Biasa. Lagi,
Suhariono hanya melanjutkan kebijakan yang sudah berjalan secara estafet dari
kepala sekolah sebelumnya. Plus, dia hanya menjalankan kebijakan dan keputusan
dari Komite Sekolah SMAN 3 Poso yang adalah para orang tua wali murid.
Poin ketiga ‘unsur
menguntungkan dan memperkaya diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi’
juga tidak terpenuhi, kecuali jika dipelintir sekehendak hati. Kepsek itu tidak
diuntungkan dan jadi kaya karena penggunaan uang komite sekolah. Dana tersebut
digunakan untuk kemajuan sekolah, baik fisik bangunan maupun halaman sekolah,
kegiatan ekstra kurikuler dan penambahan (les) belajar para siswa yang
dibimbing guru-gurunya. Sebagian uang komite diperuntukan sebagai honor
guru-guru yang membimbing siswa-siswa tersebut, dan ini atas persetujuan
pengurus komite sekolah. Guru-guru juga tidak diuntungkan dan jadi kaya karena
uang komite sekolah.
Korporasi (baca: sekolah)
menjadi lebih bagus, lebih maju, lebih indah, lebih aman, lebih nyaman, lebih
segar, lebih bergairah, dan lebih menjanjikan dari sisi lulusan SMAN 3 Poso
yang berkualitas. Jika kondisi sekolah yang menjadi lebih baik itu dipelintir
dan dikategorikan 'memperkaya korporasi', yaa suka-suka kalianlah. Akal waras
angkat bendera putih!
Poin keempat, yakni ‘merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara’ tidak terpenuhi dengan sangat telak.
Tidak satu sen pun uang negara, baik dari dana APBN/APBD (entah dalam bentuk
dana BOS, dana rutin sekolah, gaji guru, karyawan, dan sebagainya) yang
terpakai dan/atau terkorupsi oleh Kepsek Suhariono. Seluruh dana yang
dipersoalkan JPU dalam mendakwa Kepsek ini sebagai koruptor adalah dana komite
sekolah.
Uang komite sekolah tidak
masuk kategori uang negara. Uang itu adalah dana yang dihimpun dari orang
tua/wali siswa. Diputuskan besaran dan penggunaannya oleh pengurus komite
sekolah melalui rapat orang tua/wali murid atau pengurus komite sekolah. Apakah
pemungutan dan penggunaan dana komite sekolah itu merugikan perekonomian
nasional? Jika hal itu dianggap merugikan atau mengganggu perekonomian
nasional, sekali lagi suka-suka kalianlah, akal waras angkat bendera putih.
Menyerah ‘Ndan!
PN Tipikor Palu membebaskan
Suhariono dari tuduhan JPU. Para Hakim Tipikor di PN Palu itu telah bekerja
dengan benar dan tidak hanya sesuai aturan hukum positif dan logis, tapi juga
mereka menggunakan akal sehat dan hati nurani yang luhur berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa, bukan berdasarkan keuangan yang maha besar. Salut dan hormat
kepada para hakim yang mulia di PN Palu, semoga tetap istiqomah dalam membuat
keputusan hukum bagi warga pendamba keadilan di manapun bertugas.
Perlu juga diketahui bahwa
semua SMA, SMK, dan SLB di Sulawesi Tengah, termasuk di Kabupaten Poso,
melakukan hal yang sama, memungut dan menggunakan dana komite sekolah dengan
berpedoman kepada Pergub Sulteng No. 10 tahun 2017 itu. Mengapa hanya Suhariono
seorang yang dikasuskan dan divonis penjara? Bahkan, kepsek yang menjabat
sebelum Pak Suhariono juga tidak diproses dan dihukum. Ada apa ini Pak Hakim
yang (tidak) Agung?
Lebih ironisnya, Suhariono
divonis 4,5 tahun? Ini merupakan vonis bagi seorang guru yang na’unzubillah
luar biasa mengagumkan. Sebuah vonis yang jauh lebih hebat daripada hukuman
bagi para koruptor kakap penilap uang APBN/APBD miliaran yang umumnya divonis
ringan, dan mendapatkan bonus korting masa hukuman [6].
Sebagai kesimpulan tulisan
ini, kita berbaik sangka saja. Mungkin para hakim (tidak) agung yang memeriksa
kasus ini kurang ngopi sehingga matanya rabun dan tidak bisa membaca perkara
dengan benar. Jika itu yang terjadi, berarti sudah suratan nasib bagi Pak
Suhariono untuk masuk prodeo. Bukan karena kesalahannya, tetapi karena harga
kopi terlalu mahal. Korban dugaan kriminalisasi Mahkamah Agung itu terlalu
lemah untuk sekedar dapat menyediakan kopi manis bagi para pemangku kepentingan
hukum di negeri antah-berantah ini [7]. (*)
Catatan:
[1] Miris..!! Seorang Kepala
Sekolah di Poso Mengalami Kriminalisasi;
https://www.youtube.com/watch?v=_rnhiO60q5A
[2] Alumni Lemhannas: Tidak
Hanya Lelet, Mahkamah Agung Terindikasi Melanggar HAM;
https://pewarta-indonesia.com/2022/01/alumni-lemhannas-tidak-hanya-lelet-mahkamah-agung-terindikasi-melanggar-ham/
[3] Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi; https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/45350/uu-no-31-tahun-1999
[4] Alat Bukti dan Barang
Bukti;
https://www.hukumonline.com/klinik/a/apa-perbedaan-alat-bukti-dengan-barang-bukti--lt4e8ec99e4d2ae
[5] Hukum Acara Pidana:
Perbedaan Alat Bukti dan Barang Bukti; https://heylawedu.id/blog/hukum-acara-pidana-perbedaan-alat-bukti-dan-barang-bukti
[6] Vonis Hukuman Djoko
Tjandra Dipangkas, Ini Deretan Koruptor yang Terima Korting;
https://nasional.tempo.co/read/1489003/vonis-hukuman-djoko-tjandra-dipangkas-ini-deretan-koruptor-yang-terima-korting
[7] Kronologi OTT KPK ke
Hakim-Panitera Pengganti PN Surabaya;
https://news.detik.com/berita/d-5907664/kronologi-ott-kpk-ke-hakim-panitera-pengganti-pn-surabaya
Posting Komentar