Oleh : Jacob Ereste
Upaya menjinakkan imajinasi yang liar, adalah bagian dari laku spiritual untuk menyelami kedalaman jiwa yang dalam, tak terukur. Sama seperti upaya untuk meredam cara berpikir yang selalu buruk, perlu diatasi agar dapat diarahkan pada rute yang benar, tidak ngaco, sehingga dapat menuju arah yang benar.
Upaya yang paling sederhana ini perlu untuk mengikuti proses tahapan pencapaian puncak kecerdasan spiritual yang maksimal dapat dicapai, meski tidak harus sama dan setara dengan capaian mereka yang lain. Karena mulai dari awal perjalanan yang ditempuh memang sudah berbeda dengan titik awal atau spite dari kecepatan perjalanan yang bisa dilakukan.
Laku spiritual itu menurut para kaum sufi dapat dilakukan ke dalam diri sendiri, baru kemudian merayah wilayah luar yang memang tidak kalah menakjubkan serta mengasyikkan. Misalnya dalam pencermatan yang kasat mata tentang gunung berapi yang terus mengeluarkan lahar panas itu, kalau direnungkan dalam terminologi budaya mistik, cukup aneh dan mengagumkan. Setidaknya ada pertanyaan yang menggoda dan perlu dijawab; siapa penyulut bara api gunung yang tak kunjung padam itu. Lalu muaranya dari pertanyaan yang usil itu pasti gampang bisa dijawab sebagai adalah bukti dari kekuasaan Tuhan.
Sejumlah ketakjuban manusia terhadap alam lingkungan, bisa dicermati dari aneka macam ragam jenis dan warna flora dan fauna yang unik tanpa ada cacat dan cela kekurangannya sebagai bentuk karya cipta mahakarya yang sempurna sebagai cermin nyata dari sosok yang menciptakannya. Decak kagum terhadap banyak hal yang menjadi bagian dari atribut jagat raya dengan segenap manfaatnya yang dapat dinikmati oleh manusia -- sebagai makhluk Tuhan yang berakal -- tinggal bagaimana kemauan dan kemampuan masing-masing orang dapat memanfaatkan semua itu sebagai karunia atau anugerah dari Allah Yang Maha Kuasa dan penuh kasih serta penyayang itu
Belum lagi keindahan dari suara kicau burung-burung yang berbulu khas dengan warna warni yang pasti tidak mampu diduplikasi untuk sekedar untuk mengekspresikan kekaguman serta ketakjuban kepada Yang Maha Pencipta, sehingga banyak orang menjadi sangat percaya bahwa Tuhan itu adalah seniman yang paling sempurna, tiada ada bandingannya fi dunia maupun di akhirat. Belum lagi bila ada kemampuan untuk berpetualang dalam nuansa spiritual yang dapat semakin gigih dan teliti mencermati tingkah laku seekor binatang yang terus berkembang biak dalam tatanan naluriah pada siklus tertentu tanpa pernah mampu diintervensi sepenuhnya oleh kemampuan dan kecanggihan rekayasa yang bisa dilakukan oleh manusia sejenius apapun.
Bila pengembaraan spiritual dapat segera dipahami semacam upaya menyelami kedalaman batin yang terdalam dari bagian dalam batin dari diri kita sendiri, maka dari kegiatan keseharian serta segenap aktivitas lain dapat ditemukan nilai-nilai atau sekedar nuansa spiritual yang mampu menghantar terhadap kesadaran adanya Tuhan di dalam diri kita sendiri. Karena semua unsur yang ada di dalam tubuh kita sebagai manusia ciptaan Tuhan -- adalah milik Tuhan yang mutlak -- karena itu makna dari kematian dapat dimengerti sebagai wujud kembalinya makhluk Tuhan itu kepada Tuhan Sang Pencipta.
Bila ada keraguan terhadap hakikat kematian itu, maka bisa saja muncul pertanyaan tentang kematian itu sendiri, sesungguhnya ruh makhluk yang berpisah dari jasad itu perginya ke mana. Atau, disimpan oleh diapa dan dimana tempat dari persembunyiannya.
Oleh karena itu, dalam alkitab sebagai petunjuk yang diturunkan dari langit banyak sekali yang mengisyaratkan bahwa rahasia dari kegaiban tentang Yang Maha Kuasa sebagai pencipta dan pemilik jagat raya ini, sungguh tidak terbilang jumlahnya. Banyak, sungguh banyak sekali misteri yang tidak mungkin dapat diketahui oleh manusia seluruhnya sehingga harus dapat
dipahami semua itu bisa dipahami dan diketahui dalam bilangan yang terbatas, tidak hanya dengan kemampuan serta kecerdasan intelektual paling ilmiah sekalipun, karena hanya bisa diyakini dan dipercaya melalui kesadaran dan pemahaman spiritual. Semua itu pun hanya mungkin terpenuhi bila dilakukan dengan jujur serta sikap rendah hati, tiada kesombongan dan perasaan jumawa.
Jika boleh memakai terminologi para ahli agama, dalam proses serupa inilah agaknya yang dimaksud dari level derajat dari pemahaman yang kaffah.
Dari pengungkapan para kaum sufi saat di surau kampung dahulu, penulis masih mengingat tentang kisah pengembaraan mereka yang paling mengasyikkan adalah memasuki wilayah batin dan jiwa dari diri sendiri yang tidak bertepi itu. Karena semakin jauh langkah perjalanan diayunkan, maka tentangan jarak yang ditempuh akan semakin menjauh. Maka itu dapat juga dipahami bahwa perjalan yang sudah dilakukan itu sebenarnya belum seberapa jauhnya, karena masih ada rentangan panjang yang menyimpan sejumlah persimpangan serta persilangan yang mungkin akan lebih mengasyikkan dalam perjalanan yang tidak akan pernah selesai, kecuali saat menemu batu nisan sendiri yang sudah terlukis indah terpancang di taman indah yang tidak pula mungkin dilukis oleh maestro yang pernah ada di dunia ini.
Kawan seorang sufi yang memiliki latar belakang ilmu kedokteran mengakui petualangan di jagat spiritual ini persis seperti menelusuri pembuluh darah dari dalam diri kita sendiri. Terus mengalir tak pernah berhenti, kecuali mati. Lalu siapa yang kuasa melakukan kontrol atas denyut nadi yang terus berdetak tampa henti itu, serta saat Malaikat datang menjemput ?
Permenungan serupa inilah yang mampu membuktikan bahwa pengembaraan spiritual itu sangat penting dan perlu untuk dilakukan oleh setiap orang agar bisa lebih merunduk masuk dalam istana illahi rabbi, hingga mampu memahami betapa pentingnya upacara bersyukur itu dalam kondisi dan situasi seperti apapun, sehingga egosentrisitas, nafsu, keserakahan, tamak dan rakus serta hasrat untuk merampas hak dan kepemilikan orang lain dapat dijinakkan hingga terbendung dan terhentikan sama sekali. Sebab di dunia ini, kita tidak mungkin hidup sendiri.
Pertanyaan iseng dan usil, sesekali perlu diberi kesempatan untuk mendapat perhatian dan jawaban, meski tidak juga mendatangkan rasa kepuasan yang membahagiakan. Tapi setidaknya dengan cara dapatlah mengurangi sedikit kegiatan yang suntuk berpikir dan berusaha untuk banyak hal yang bersifat duniawi. Padahal manusia hidup atas dasar jiwa yang utama, baru kemudian diperlukan raga, sepeti dalam nyanyian puja-puji Indonesia Raya, bagi jiwa dan raga kami.
Pecenongan, 14 November 2024
Thanks for reading Setelah Puas Menikmati Hidup di Bumi, Ke Mana Lagi Manusia Harus Pergi | Tags: Opini
« Prev Post
Next Post »
0 comments on Setelah Puas Menikmati Hidup di Bumi, Ke Mana Lagi Manusia Harus Pergi
Posting Komentar