Studi Kasus Pencurian Dengan Pemberatan Pasal 363 Dan Penadah Hasil Kejahatan Pasal 480 Yang Terjadi Di Wilayah Hukum Polsek Cisoka
Oleh : Abdul Kabir Albantani
Kasus yang tergolong Penyakit
Masyarakat (Pekat)atau Tindak Pidana Publik (Kejahatan) yang dilakukan oleh
sdr. Anas dan sdr. Amin ini, menggelitik penulis untuk melakukan studi kasus
dan kajian hukum berdasarkan realita yang terjadi dilapangan, hal ini menjadi
sangat kontradiktif lantaran upaya perdamaian dengan korban tidak membuahkan
hasil karena tidak adanya kata sepakat dalam hal biaya penggantian ganti rugi
terhadap korban. Selain itu, minimnya pengetahuan tentang hukum serta
argumentasi yang dikemukakan oleh berbagai pihak mengaburkan upaya hukum yang
seharusnya bisa dilakukan oleh pelaku untuk melakukan perdamaian dengan memohon
pengampunan (Pasal 62 KUHP) dari korban yang
bisa membebaskan dirinya dari jeratan hukum sementara proses hukum berjalan.
Dalam hukum pidana Indonesia, menurut Prof Moeljatno, mengganti kerugian korban pencurian dapat mempengaruhi proses hukum, tetapi tidak secara otomatis menghapuskan sanksi pidana. Berikut beberapa kemungkinannya :
Pengaruh Mengganti Kerugian
1. Pengurangan hukuman: Hakim
dapat mempertimbangkan penggantian kerugian sebagai faktor pengurang hukuman
(Pasal 16 KUHP).
2. Pengampunan: Korban dapat
mengampuni pelaku, namun tidak menghapuskan sanksi pidana sepenuhnya (Pasal 62
KUHP).
3. Perdamaian: Pelaku dan korban
dapat melakukan perdamaian, yang dapat mempengaruhi proses hukum (Pasal 63
KUHP).
Syarat-syarat
1. Penggantian kerugian harus
dilakukan secara sukarela.
2. Penggantian kerugian harus
sesuai dengan nilai kerugian yang dialami korban.
3. Pelaku harus mengakui kesalahan
dan menyesali tindakannya.
Pasal yang Relevan
1. Pasal 16 KUHP: Pengurangan
hukuman.
2. Pasal 62 KUHP: Pengampunan.
3. Pasal 63 KUHP: Perdamaian.
4. Pasal 363 KUHP: Pencurian.
Jika penadah tidak mengetahui bahwa barang yang diterimanya berasal dari tindak pidana, maka tidak dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 368 KUHP. Namun, ada beberapa syarat yang harus terpenuhi.
Berikut Syarat - Syaratnya :
1. Penadah tidak mengetahui dan
tidak sepatutnya mengetahui asal-usul barang.
2. Penadah tidak memiliki tujuan
untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
3. Penadah tidak melakukan tindakan untuk menyembunyikan atau menghilangkan jejak barang.
Meskipun telah terjadi perdamaian
antara pelaku dan korban, negara masih dapat melanjutkan kasusnya berdasarkan Pasal
363 KUHP. Hal ini karena ada diskresi kepolisian yang melekat terhadap kasus ini:
Alasan
1. Kejahatan Pasal 363 KUHP
(pencurian) adalah kejahatan publik, sehingga negara memiliki kewenangan untuk
menindaklanjuti kasus tersebut.
2. Perdamaian antara pelaku dan
korban tidak menghapuskan tindak pidana.
3. Negara bertanggung jawab untuk
menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
Dasar Hukum
1. Pasal 363 KUHP: Pencurian.
2. Pasal 1 ayat (1) KUHP:
Pengertian kejahatan publik.
3. Pasal 5 KUHP: Kewenangan
negara dalam menindaklanjuti kejahatan publik.
Prosedur
1. Penyelidikan dan penyidikan
oleh pihak kepolisian.
2. Pengajuan perkara ke pengadilan.
3. Pemeriksaan di pengadilan.
4. Putusan pengadilan.
Pengecualian
1. Jika korban mengajukan
permohonan penghentian penuntutan (Pasal 140 KUHP).
2. Jika pelaku telah melakukan pengembalian barang curian dan memenuhi syarat-syarat tertentu (Pasal 364 KUHP).
Pasal 140 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) Indonesia berbunyi:
Ayat (1)
"Tuntutan pidana terhadap
seorang pelaku tidak dapat diteruskan, jika korban atau ahli warisnya
mengajukan permohonan penghentian penuntutan."
Ayat (2)
"Permohonan penghentian
penuntutan hanya dapat diterima, jika pelaku telah memenuhi kewajibannya
terhadap korban atau ahli warisnya."
Ayat (3)
"Penghentian penuntutan
tidak menghapuskan tindak pidana, tetapi hanya menghentikan proses
pidana."
Syarat Pengajuan
1. Korban atau ahli warisnya
harus mengajukan permohonan secara tertulis.
2. Permohonan harus disampaikan
sebelum proses pidana selesai.
3. Pelaku harus memenuhi
kewajibannya terhadap korban atau ahli warisnya.
Dalam konteks Pasal 140 KUHP,
"proses pidana selesai" berarti proses hukum telah mencapai tahap
akhir, yaitu:
Tahap-Tahap Proses Pidana
1. Penyelidikan dan penyidikan
selesai.
2. Berkas perkara telah
diserahkan ke jaksa.
3.Jaksa telah menyerahkan berkas
ke pengadilan.
4. Sidang pengadilan telah
dilaksanakan.
5. Putusan pengadilan telah dibacakan.
Kriteria Proses Pidana Selesai
1. Tuntutan pidana telah
dibacakan.
2. Pembelaan terdakwa telah
selesai.
3. Replik dan duplik telah
selesai.
4. Putusan pengadilan telah
dibacakan.
5. Masa banding dan kasasi telah
berakhir.
Konsekuensi
Jika proses pidana sudah selesai,
maka:
1. Permohonan penghentian
penuntutan tidak dapat diterima.
2. Putusan pengadilan sudah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
3. Pelaku harus menjalani hukuman
yang telah ditentukan.
Tindak Pidana
Tindak pidana (bahasa Inggris:
criminal act atau offense) adalah perbuatan yang dilarang oleh hukum dan
diancam dengan sanksi pidana, seperti pidana penjara atau denda. Tindak pidana
mencakup:
Unsur-unsur
1. Perbuatan (actus reus):
tindakan nyata yang melanggar hukum.
2. Kesalahan (mens rea): niat
atau kesadaran pelaku saat melakukan tindakan.
3. Kausalitas: hubungan
sebab-akibat antara tindakan dan akibatnya.
4. Melanggar hukum (contra
legem): bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Jenis-jenis
1. Tindak pidana publik
(kejahatan): pencurian, pembunuhan, penculikan.
2. Tindak pidana privat
(pelanggaran): penganiayaan ringan, pencemaran nama baik.
3. Tindak pidana formil: tindakan
yang dilarang karena bentuknya (misalnya, tidak memenuhi prosedur).
4. Tindak pidana material: tindakan yang dilarang karena akibatnya (misalnya, membunuh).
Berikut struktur yang lebih rapi tahapan proses pidananya:
Tahap-Tahap Proses Pidana
1. Penyelidikan dan penyidikan
selesai.
2. Berkas perkara diserahkan ke
jaksa.
3. Berkas diserahkan ke
pengadilan.
4. Sidang pengadilan
dilaksanakan.
5. Putusan pengadilan dibacakan.
Kriteria Proses Pidana Selesai
1. Tuntutan pidana dibacakan.
2. Pembelaan terdakwa selesai.
3. Replik dan duplik selesai.
4. Putusan pengadilan dibacakan.
5. Masa banding dan kasasi
berakhir.
Konsekuensi
1. Permohonan penghentian
penuntutan tidak diterima.
2. Putusan pengadilan memperoleh
kekuatan hukum tetap.
3. Pelaku menjalani hukuman.
Referensi hukum :
1. Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) Indonesia.
2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana.
3. Peraturan perundang-undangan
lainnya.
4. Yurisperdi Mahkamah Agung RI.
5. Prof. Moeljatno,
"Komentar KUHP".
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelaahan dan
kajian penulis, kasus Anas dan Amin termasuk tindak pidana Publik (Kejahatan)
dimana meski sudah ada perdamaian dan pencabutan laporan oleh korban, Perdamaian
antara pelaku dan korban tidak menghapuskan tindak pidana. Negara dalam hal ini
Kepolisian RI masih punya kewenangan untuk menindak lanjuti kasus ini karena
hal ini adalah bentuk tanggung jawab Negara (Polri) dalam menjaga Kamtibmas.
Namun demikian, apabila semua
unsur yang terlibat dalam kasus ini dari mulai Pelaku, Korban, Penyidik, Jaksa,
hingga Hakim di Pengadilan sepakat untuk menggunakan celah hukum yang ada tanpa
melanggar norma dan kaidah hukum. Maka, penulis yakin Restoratif Justice seperti
atensinya Kapolri dan Kejagung itu bisa dilakukan tanpa mengabaikan aturan
perundang – undangan yang berlaku.
*Penulis adalah Ketua Persatuan
Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Provinsi Banten*
Posting Komentar