JAKARTA, BeritaKilat.Com – Penyidik
Bareskrim Mabes Polri Helmy mengatakan, penyidik berhati-hati dalam menangani
kasus Indosurya. Hal tersebut lantaran ada sejumlah aspek yang mesti
diperhatikan dalam proses penyidikannya.
Sejauh ini, tim masih
melakukan pemeriksaan tambahan terhadap saksi-saksi maupun keterangan saksi
ahli. Penyidik juga harus mengakomodir korban-korban lain yang baru mengadukan
Indosurya saat kasus tersebut sudah dalam proses penanganan Bareskrim Polri.
"Ini juga membutuhkan
waktu karena perlu penyitaan ribuan dokumen," ujar dia.
Dalam proses penyidikan
nyatanya salah satu dari tiga tersangka mengajukan bukti baru. "Tersangka
Henry Surya mengajukan bukti baru berupa putusan perjanjian perdamaian (homologasi)
atas gugatan PKPU," kata Helmy.
Dalam kasus ini, tiga orang
telah ditetapkan sebagai tersangka perkara Indosurya. Mereka adalah Ketua KSP
Indosurya Henry Surya, Manager Direktur Koperasi Suwito Ayub, dan Head Admin
June Indria. Selain itu, polisi juga menetapkan KSP Indosurya sebagai tersangka
korporasi.
Pada Juli 2020, hakim
Pengadilan Niaga PN Jakarta Pusat memutus pengesahan homologasi
perkara penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) antara Koperasi Simpan
Pinjam (KSP) Indosurya Cipta dengan para kreditur. Helmy menyebut, pihaknya
memperhatikan setiap aturan hukum agar tidak salah dalam proses administrasi
penyidikan.
"Termasuk putusan PN
Jakpus tentang PKPU yang harus diikuti meski dikesankan bahwa penyidikan
berjalan lamban namun sebenarnya masih on the track," ujarnya.
Kasus kejahatan investasi
dengan homologasi atas gugatan PKPU sendiri tidak hanya terjadi di kasus
Indosurya. Hanya saja, penanganannya terkesan lambat lantaran banyak faktor.
"Jika kami mengunakan
kacamata kuda, maka kasus ini sudah selesai dari dulu karena tersangka ada,
korban ada, barang bukti ada dan saksi ada. Namun penyidik juga harus
mempertimbangkan kemanfaatan hukum dan mekanisme hukum lainnya, di mana banyak
korban yang mengharap kerugiannya dikembalikan begitu juga dengan adanya PKPU,
sehingga penanganannya terkesan menjadi lambat," sebut Helmy.
Adapun konsep penanganan
terhadap perkara-perkara serupa dipastikan tidak berbeda satu dengan lainnya.
Di mana kepentingan masyarakat atau korban yang lebih banyak akan lebih
diutamakan. Seperti kasus investasi Asuransi Kresna, PT Jouska, Pikasa Group,
Indosterling dan sejumlah kasus lainnya.
Untuk poses penyidikan kasus
Indosurya, masih tetap berjalan dan sudah ada ratusan orang yang telah
diperiksa penyidik. "Dan Kami tentunya berkomitmen untuk menuntaskan kasus
ini," tandas Helmi.
Menanggapi pernyataan dari
Polri, seorang Pakar Hukum Pidana dari Universitas Bhayangkara Jakarta Raya,
Dr. Dwi Seno Wijanarko, S.H., M.H., CPCLE berpendapat berbeda dengan pihak Polri,
menurutnya ada yang keliru dengan penerapan Homologasi dalam ranah pidana.
" yang harus saya
luruskan disini adalah Ranah pidana merupakan klasifikasi yang berbeda perdata
khususnya PKPU, dalam pidana Jika pemberkasan sudah selesai, maka wajib di limpahkan
ke kejaksaan untuk di teliti.
Banyak pendapat seolah-olah
'apabila ada homologasi PKPU' lalu perkara pidana bisa berhenti, padahal hal
itu keliru. Pengesahan perdamaian (homologasi) pada pkpu itu hanya baru sebatas
janji penjadwalan /restrukturisasi utang, bukan pemulihan hak-hak korban.
Penyidik banyak yang tidak
paham, hanya paham kata "damai" "86", padahal hak hak
korban harus dipenuhi dulu atau dipulihkan dulu baru bisa masuk kategori
restoratif justice atau perdamaian dalam arti yang sebenarnya.
Frasa "perdamaian"
dalam Undang-undang kepailitan & PKPU sebaiknya diganti dengan frasa yang
lebih tepat merujuk pada arti sebenarnya yaitu Restrukturisasi Utang atau
penjadwalan ulang pembayaran utang. Jika frasa "perdamaiaan" tetap
digunakan, maka bisa membuat rancu di benak penyidik. Jujur saja penyidik itu
banyak yang tidak paham soal pkpu dan semau maunya menafsirkan sendiri.
kemudian apa hubungannya tersangka mengajukan bukti baru berupa putusan
homologasi dengan proses penanganan perkara pidananya ? mungkin saja yg
menghubungkan putusan homologasi PKPU dengan proses hukum pidana itu dulunya
belajar teori keadilannya berdasarkan Teori keadilan SH (Soekarno Hatta).
Penyidik harus dapat menerapkan perwujudan hukum yang memenuhi aspek
kemanfaatan hukum, kepastian hukum dan keadilan.
Jika penyidik berdalih
mempertimbangankan kemanfaatan hukum dan mekanisme hukum lainnya agar hak para
korban dapat diberikan sebagaimana yang di harapkan maka restorative justice
yang sebenarnya lah yang bisa diterapkan dengan terpenuhinya hak hak korban.
Bukan perdamaian versi homologasi."jelas Dr. Seno